Perempuan itu adalah aku.
Perempuan itu termanggu diatas tumpukkan sajak-sajak rindu yang belum sempat ia bacakan pada lelaki, yang sempat ia temui di persimpangan puisi tempo lalu.
“Aku tidak gamblang mengatakan mencintaimu, tetapi apa kau sudah memeriksa sunyi yang kukecupkan pada kedua pipimu?” Tulisannya.
Setangkai puisi yang telah dipangkas durinya, agar lelaki itu dapat mendekapnya malam hingga pagi nanti. Setangkai lagi belum dipetik, jenis rupa rasanya : salah satunya ialah menggambarkan cinta.
Kemudian, malam-malam sepi menghampiri — sesekali terdengar suara bising jangkrik dibalik batu yang beradu dengan bising garpu yang digenggam pada kedua tangannya. Melahap rindu sendirian yang di tanak dari dua ribu sembilan belas hingga entah kapan berkesudahan. Walau seisi dunia tidak peduli, perempuan itu masih akan tetap melanjutkan puisinya.
— Hingga sepiring rindu bisa ia suapkan kepada lelaki itu, dengan lahap. Hingga lipstik merah tak lagi berwarna, habis dikecupkan.